BAB 1??
Kedua
mataku terbuka secara perlahan. Sulit untuk membukanya, dikarenakan
kelopak mataku masih terlalu berat untuk dibuka. Otakku sepertinya
masih ingin beristirahat lebih banyak lagi.
Huh,
tetapi sepertinya nasib berkata lain.
Aku
bisa melihat seseorang diatasku—dan walaupun penglihatanku masih
sedikit kabur karena cahaya lampu yang hampir membuat mataku buta,
aku masih bisa melihat surai rambut yang unik yang dimiliki oleh
orang itu. Silver
warnanya, begitu pula dengan kedua matanya. Aku sangat mengenal orang
ini.
Hikaru
Hamano. Dia adalah teman sekamarku, dan salah satu temanku yang
paling dekat disini. Hikaru termasuk murid yang rajin—ia selalu
bangun pagi dan selalu mengerjakan pekerjaan rumahnya. Walaupun
begitu, nilainya pas-pas-an. Aneh, padahal ia sudah seperti orang
pintar.
Ia
mengguncang-guncangkan tubuhku sekali dua kali dengan lembutnya.
"Hayato-kun, bangun..." ujarnya. Suaranya terdengar
sangat lembut untuk seorang lelaki, hampir mirip dengan suara
perempuan. Aku mengucak-ucak mataku, mencoba untuk membuatnya terbuka
lebar.
"Hngg..."
Aku menguap lebar dengan tanganku menutup mulutku dan menengok ke
arah orang itu beberapa detik, mengedipkan mataku, lalu menutup
mataku kembali. "5 menit lagi..." ujarku dengan malasnya.
Suaraku terdengar serak entah mengapa.
Aku
mendengar Hikaru menghela nafas, kemudian diikuti dengan sebuah
"baiklah... Jangan salahkan aku kalau kau telat, ya,"
lanjutnya datar, tetapi aku mengabaikannya.
Tempat
tidurku berguncang sedikit setelah itu, dan berat yang tadi ada di
sebelahku pun hilang. Hikaru sudah beranjak dari tempat tidurku
rupanya. Bahkan tanpa mataku, aku bisa tahu bahwa Hikaru sedang
berjalan. Telingaku yang tajam menangkap suara pintu dibuka, dan
dengan itu aku tahu bahwa ia sedang berjalan keluar. Pintu pun
ditutup, dan sekarang aku bisa tidur sepuasnya.
Tunggu.
Jam
berapa sekarang?
Seketika
kedua mataku terbuka lebar, membiarkan mata biruku melihat kain lebar
yang menutupi tanganku. Aku segera melemparnya ke lantai dan
mengambil iPhone-ku yang ada di bawah bantal, dan menekan
satu-satunya tombol yang ada di bawah touch
screen-nya.
Jantungku
hampir lepas ketika mengetahui jam berapa sekarang ini. Jam digital
yang tertera di dalam iPhone-ku itu seakan mengejekku yang sudah
sangat telat ini. Angka nol muncul tiga kali dan angka tujuh muncul
satu kali.
Aku
telat. Pakai sangat. Aku kesiangan karena tadi malam—aku tidur jam
tiga pas. Sekarang aku telat, dan aku tahu itu salahku.
Aku
tahu aku telat, tetapi, walaupun aku
sangat ingin bergerak, aku tidak bisa bergerak. Tubuhku tidak
ingin bergerak. Seperti dirantai. Mataku terbuka lebar, menatap layar
iPhone-ku dengan ekspresi terkejut terpampang di wajahku. Sesekali
kedua mataku akan berkedip, membersihkan bakteri dari bola mataku
yang merah akibat mengantuk.
Satu
detik, dua detik, tiga detik. Dan menit pada layar iPhone itu pun
berganti.
07.01.
Dan
dengan kecepatan bagaikan cahaya, aku turun dari tempat tidur yang
super berantakan—dibandingkan dengan Hikaru—dan berlari ke arah
lemari. Letaknya ada di pojokan di pokok ruangan, dan—BUK!
Entah
apakah karena aku berlari terlalu kencang atau memang mataku masih
belum terbuka sepenuhnya; aku secara tidak sengaja menabruk lemari.
Kepalaku terbentur dengan lemari kayu tersebut, mengotori dahiku
dengan noda benturan.
Aku
merasakan sesuatu mengalir dari dahi ke hidungku. Aku berdiri,
memegang kepalaku yang sedari tadi berdengung, dan menghadap ke
cermin. Air merah itu mengalir dari dahiku secara perlahan, dan
akhirnya menetes ke lantai. Aku menghela nafas. Biarkan
Hikaru membersihkannya lah, pikirku
sembari mengusap-usapkan kakiku terhadap darahku yang ada di lantai.
Tidak, tidak jijik. Untuk apa jijik dengan darah sendiri?
Aku
kembali menghadap ke lemari dan membukanya, lagi-lagi disambut oleh
beberapa pakaian—baju santai, berbagai macam celana, pakaian dalam,
et
cetera.
Mataku langsung tertuju kepada kemeja biru dan celana jeans.
Aku
mengambilnya dan secepat cahaya, bajuku yang tadi—lebih tepatnya
piyamaku—sudah terganti dengan kemeja biru dan celana jeans
yang tadi.
Asrama
ini—asrama Aventurn—membebaskan murid-muridnya untuk memakai baju
bebas. Tentu saja, dengan syarat: rapi dan sopan. Yang kupakai
sekarang ini kan sopan. Walau agak tidak rapi sih, heh. Dan tentu
saja semua—atau kebanyakan, karena tidak semua murid patuh akan
peraturan—murid mematuhinya, karena ada seorang guru disini yang
super killer
dan semua orang takut kepadanya.
Kembali
lagi ke tempat tidur, aku mengambil tasku yang ada di bawah tempat
tidur dan berlari ke pintu. Untungnya bagiku, Hikaru selalu
membereskan bukunya sekaligus milikku sebelum ia tidur. Tepat sebelum
aku keluar, aku mengambil jaket kulit kesayanganku yang digantung
dengan rapi di pintu. Aku tertawa kecil.
Hikaru
memang anak rajin. Seingatku, terakhir kali aku menaruhnya di kursi
komputerku. Aku menggelengkan kepalaku, “dasar.”
Setelah
membisikkan terima kasih, aku memakai sepatu sneakers-ku
dan membuka pintu kamarku, dan dengan kecepatan secepat
cahaya, aku berlari menuju kelas X-B, kelasku untuk tahun ini.
Sekarang sudah semester dua di sekolah ini. Atau lebih cocoknya, sih,
asrama. Asrama Aventurn.
Asrama
Aventurn sudah berdiri sejak tahun 20XX, dan sudah merupakan salah
satu asrama paling tertib di dunia. Asrama-asrama di dunia memang
terkenal akan ketidakteribannya, tetapi kata-kata tersebut tidak
berlaku bagi Asrama Aventurn. Memang, murid-muridnya ada yang nakal,
tetapi tidak ada seorang pun yang memakai narkoba atau obat-obat
terlarang. Bahkan, tidak sedikit orang kaya yang bersekolah disini.
Dan
aku, Itoh Hayato—atau biasa dipanggil dengan namaku yang
lain—Arthur Clayton, termasuk dalam kategori murid-murid yang nakal
itu. Bukan berarti nakal mesum, melainkan lebih ke nakal yang tidak
pernah mematuhi peraturan sekolah.
Suara
langkah kaki ku bergema di sepanjang taman. Aku baru saja
meninggalkan gedung dorm
lelaki. Tentu saja, dorm
lelaki dan dorm
perempuan dipisah. Kedua dorm
tersebut berseberangan, dengan sebuah air mancur indah yang
memisahkan keduanya. Di bagian utara air mancur tersebut berdirilah
sebuah bangunan yang sangat besar—gedung utama Aventurn, dimana
murid-murid belajar dengan tekun. Tadi
itu sarkastik.
Dengan
cepat aku berlari ke arah pintu besar yang ada disana.
Pintu
itu tidak otomatis—aku harus mendorongnya, dan itu akan membuat
perjalananku ke kelas lebih lama lagi. Aku tidak peduli—kudorong
pintu coklat yang elegan itu sekeras-kerasnya, hingga tukang kebun
yang sedari tadi menggeleng-geleng melihatku terburu-buru ini
berteriak. Aku meminta maaf, dan segera memasuki gedung itu.
Udara
dingin adalah sesuatu yang paling pertama menyambutku. Biasanya aku
akan menarik nafas dan berpikir bahwa udara air conditioner
ini menyegarkan, tetapi saat ini aku mengabaikannya. Tujuanku saat
ini adalah berlari menuju kelasku. Tempatnya berada di lantai satu di
paling pojok.
Setelah
beberapa menit berlari, aku akhirnya berhenti di depan sebuah pintu.
Aku berlari sangat jauh—tetapi aku sama sekali tidak lelah. Nafasku
masih stabil, dan tidak semua orang bisa seperti itu.
Sembari
aku berhenti tiba-tiba, sepatuku membuat suara decitan nyaring yang
mengganggu telinga. Maklum, lantai bersih dan sepatuku adalah sepatu
basket.
Aku
menatap ke atas, ke papan dimana sebuah tulisan dituliskan disana.
X-B. Bagus. Aku menghela nafas untuk kesekian kalinya pagi ini, dan
memegang gagang pintu tersebut. Kemudian aku terdiam.
Aku
mengingat pelajaran pertama hari ini—Sejarah. Tanpa kusadari, aku
mendecikkan lidahku. Sialan,
ujarku dalam hati. Aku bisa merasakan jantungku berdetak kencang,
bersiap-siap akan ocehan guru yang sedang dalam perjalanannya ke
telingaku. Menghela nafas lagi, aku membuka pintunya. Aku akan
menggunakan trikku yang selalu gagal itu.
Aku
menempelkan telingaku ke pintu dan menguping penjelasan guru dari
luar. Suara lelaki terdengar di telingaku, sedang menjelaskan tentang
Sejarah—aku tidak mengerti, aku tidak bisa Sejarah. Bagus, sang
guru sedang menerangkan. Aku menggunakan ini sebagai kesempatanku
untuk masuk kelas secara diam-diam.
Kubuka
pintunya dengan perlahan, dan mengintip sedikit. Dari pintu, aku bisa
melihat sang guru sedang menjelaskan apa yang sedang ia jelaskan
sambil menghadap ke papan tulis, menulis sesuatu. Surai rambutnya
mirip dengan surai Hikaru, tetapi kali ini rambutnya lebih pucat
lagi—putih pucat. Warna kulitnya pun nyarin menyamai warna rambut
guru itu.
Kesempatan
emas, pikirku dalam hati. Aku
merangkak di lantai dan membuka pintunya secara perlahan dan
hati-hati dan sediam mungkin agar sang guru tidak menyadari
keberadaanku. Tetapi, tentu saja, murid yang terdekat dengan pintu
pasti menyadarinya. Orang itu menoleh ke arahku dan mengedipkan
matanya untuk beberapa saat. Aku mengabaikannya—aku harus
cepat-cepat ke mejaku. Mejaku ada di pojok baris kedua dari
belakang—ayolah.
Dan
entah apa hari ini memang hari sialku, atau memang murid sialan itu
sengaja melakukannya. Murid perempuan bersurai pirang dengan beberapa
highlight di rambutnya
yang berwarna merah muda itu menunjuk ke arahku dan dengan suara yang
lantang, ia berteriak, “Oh, Arthur Clayton baru datang! Mr.
Clayton, Arthur baru datang!” Aku menatap mata biru tua perempuan
itu dengan tajam, yang ia balas dengan tatapan mengejek yang
membuatku kesal.
Tentu
saja, semua kepala, termasuk kepala sang guru, menoleh ke arahku.
Beberapa terkekeh, beberapa tersenyum pasrah, beberapa hanya menghela
nafas. Mayoritas, sih, terkekeh mengejekku. Aku berbisik kata-kata
indah kepada perempuan itu dan akhirnya berdiri sambil
memasang senyuman bodoh dari pipi ke pipiku.
Di
ujung mataku pun, aku bisa melihat tatapan datar yang ditujukan
kepadaku dari teman sekamarku. Seakan-akan tatapan itu berkata, “itu
salahmu sendiri, Hayato-kun.”
Jarak
antara diriku dengan si guru jauh, tetapi aku bisa merasakan hawa
panas darinya walaupun ia sudah seperti seorang yang dingin. Mata
merahnya seakan menatap jiwaku, dan warna merahnya sangat cocok
dengan rambut putihnya dan kulit putihnya yang nyaris sama dengan
warna rambutnya. Sudah berkali-kali aku menatap balik kedua mata itu,
tetapi tetap saja hasilnya sama—aku mematung.
“Maafkan
aku, kakakku yang tersayang~” ujarku, dengan keras mencoba untuk
terdengar santai dan tak bersalah. Tetapi alhasil gagal juga, karena
keringat dingin sudah terlanjur mengalir dari dahi ke pipiku. Seperti
air mata, bedanya ini dari dahi, dan bukan dari mata.
Guru
itu menggeram, memegang lebih erat spidol yang dipegangnya, dan
mungkin spidol itu akan hancur beberapa detik kemudian—atau hanya
aku yang melebih-lebihkannya. “Jangan panggil aku kakak
disini, Arthur. Panggil aku Mr. Kenneth,” ujarnya
kepadaku.
Nama
guru itu Itoh Hibari—atau dengan nama lainnya disini—Kenneth
Clayton. Dia kakakku, umurnya lima tahun lebih tua dariku—21 tahun.
Dia bekerja disini sebagai guru. Guru muda ganteng yang terkenal akan
perempuan ganjen disini.
Mungkin
kebanyakan orang akan berpikir yang pertama masuk sekolah ini adalah
kakakku, lalu aku diminta oleh kakakku untuk pindah sekolah kesini.
Nope, salah besar. Malah, kebalikannya.
Aku
mendaftar disini secara diam-diam karena suatu alasan, walaupun
kakakku memintaku untuk bersekolah di sekolahnya yang dulu.
Untungnya, aku diterima di Aventurn (dan aku bingung sampai
sekarang—aku 'kan bodoh—kecuali dalam Bahasa Inggris dan
olahraga—dan mengapa aku diterima di asrama tingkat tinggi ini).
Namun, teman kakakku bekerja menjadi guru disana, dan ia pun
memberitahku kakakku. Aku pulang saat itu dengan ketakutan, takut
akan teriakkan kakak yang akan menggema di telingaku. Tetapi saat aku
pulang, ia hanya menggelengkan kepalanya, menatapku pasrah dan
menepuk kepalaku pelan sembari berkata, “dasar remaja.”
Aku
sayang kakakku.
Hibari
seakan ingin memarahiku. Tatapan matanya sungguh mengerikan. Ia
menghentakkan kakinya ke lantai, membuat bulu kudukku berdiri. Namun,
secara tiba-tiba, tatapan matanya berubah menjadi tatapan terkejut,
pupil matanya melebar, seakan aku menumbuhkan kepala kedua.
Ia
menunjukkan jarinya ke arahku, dan berkata, “Hayacchan, dahimu
kenapa?”
Aku
berkedip beberapa kali. Kata-kata yang baru saja diucapkan oleh
kakakku masih diproses di dalam otakku. Beberapa detik kemudian,
proses itu selesai. Aku memegang dahiku, dan merasakan air kental
yang tadi. Oh.
Darah.
“Oh,
ini,” aku tersenyum polos. “Aku tadi nggak sengaja menabrak
lemari. Keras pula,” ujarku dan diikuti dengan tawaan kecil.
Hibari
menggelengkan kepalanya, berkata sesuatu yang aku tidak dengar, lalu
kembali menghadapku, tangannya dilipat di depan dadanya. “Obati
saja dulu di UKS,” ucapnya. Sesuatu di dalamku sepertinya meledak
karena kesenangan yang berlebihan.
“S—sungguh...?”
Tanyaku, tidak yakin akan kata-kata kakakku barusan.
Sebuah
senyuman lebar muncul di sepanjang mulutku saat kakakku mengangguk.
“Iya, suruh Ms. Flynn mengobatinya.”
Dengan
segera aku pun mengangguk, “b-baiklah,” jawabku. Sebelum pergi
keluar kelas dan ke UKS, aku menaruh tasku di mejaku—pojok baris
kedua dari belakang. Setelah itu, aku memberi kakakku sebuah hormat
hanya untuk bercanda, lalu dengan segera meninggalkan kelas, dan
berjalan santai ke arah UKS.
Selama
perjalanan, aku hanya bisa memikirkan satu hal: aku bersyukur punya
kakak sepertinya. Sepertinya aku harus menceritakan sedikit dengan
kakakku itu.
Pertama,
bnyak orang juga mengira bahwa kakakku itu kakak angkat karena ia
sama sekali tidak mirip denganku. Rambut putihnya seperti salju, dan
kulitnya yang hampir menyamai warna rambutnya, juga dengan kedua mata
merahnya itu. Aku? Aku punya kulit normal, tidak terlalu putih dan
juga tidak hitam, dengan kedua mata biruku dan rambut pirangku yang
berantakan.
Tidak
hanya fisik, kami pun juga berbeda di dalamnya. Hibari tidak pintar
dalam olahraga—tenaganya sedikit. Ia bahkan tidak bisa menaiki
sepuluh anak tangga tanpa menghela nafas pendek. Aku berbeda dengan
kakakku. Ingat 'kan, saat aku berlari dari dorm lelaki hingga
kelas? Aku bahkan tidak lelah sama sekali. Kalau itu kakakku, pasti
kakakku sudah pingsan.
Hibari
pintar dalam pelajaran penting—sejarah, geografi, matematika, dan
lain-lain. Sedangkan aku? Hah, jangan ditanya lagi. Aku bodoh—sangat
bodoh bahkan. Kecuali dalam bahasa inggris, olahraga, dan komputer.
Itu, aku sangat pintar.
Mengira
kami bukan saudara kandung? Salah besar. Ia memang secara biologis
kakak kandungku. Itu fakta. Kalau tidak percaya, lihat saja akta
kelahirannya.
Kakakku
itu seorang albino. Dia terlahir sebagai albino, membuat rambutnya
putih dan kulitnya putih pucat, juga matanya yang merah terang itu.
Menyeramkan jika dipandang untuk pertama kalinya, tetapi jika kau
sudah mengenalnya lama, pasti tidak menyeramkan. Kakakku baik—sangat
baik, bahkan.
Aku
dari kecil dirawat oleh kakakku. Aku tidak pernah mengenal
orangtuaku—aku hanya tahu nama mereka, diberitahu oleh kakak. Nama
mereka adalah Itoh Goro dan Ran. Kata kakakku, aku mendapat rambut
pirangku dari ayah, sedangkan mata biruku dari ibu.
Kakakku
itu super duper baik.
Pernah, sewaktu aku masih kecil, sekitar umur 6 tahun kalau
tidak salah, aku meminta sebuah Nintendo 64, karena dulu yang trend
dikalangan anak-anak umur 6 tahun adalah Nintendo 64. Dan tepat esok
harinya, yang pertama kulihat setelah membuka mataku dari tidur
adalah sebuah Nintendo 64. Ah, betapa senangnya aku waktu itu.
Sungguh,
aku sangat bersyukur mempunyai kakak seperti dia. Jarang ada kakak
seperti dia. Aku tidak ingin dia meninggalkanku—sama sekali.
*
* *
Mataku
tertutup, dan aku hanya bisa melihat kegelapan saat ini, tetapi aku
masih bisa merasakan tangan lembut sang guru kesehatan di dahiku,
mengusap-usap dahiku dengan sebuah kapas putih yang lembut untuk
membersihkan darah kental tadi.
Sepanjang
perjalanan kesini, darahku menetes ke lantai, membuat orang yang
sedang membersihkannya memarahiku. Tadi pagi tukang kebun, lalu orang
bersih-bersih lantai. Apa lagi nanti?
Aku
menghela nafas saat aku sudah tida bisa merasakan tangan sang guru di
dahiku lagi. Aku pun membuka mataku dan mengusap mataku yang kiri.
Pipiku memerah ketika tahu seberapa dekatnya wajahku dengan wajah
sang guru ini. Dengan segera aku mendorong kursi yang kududuki
mundur.
Guru
itu memiringkan kepalanya, “ada apa, Mr. Clayton?” tanyanya
ramah, diikuti dengan senyumannya yang bagaikan senyuman malaikat.
Mungkin ia bidadari yang jatuh dari surga.
Aku
menggelengkan kepalaku. “T-Tidak...”
“Begitukah?”
Aku mengangguk untuk menjawabnya. Kemudian ia mengambil sebuah kapas
lagi, dan berjalan ke arah wastafel yang ada di pojok ruangan. Aku
mengikuti setiap gerak-geriknya.
Guru
ini adalah Ms. Flynn. Emily Flynn, nama panjangnya. Dia adalah guru
tercantik di seluruh Asrama Aventurn. Dia sangat terkenal di kalangan
lelaki rendahan—kau tahulah, yang mesum. Tidak sedikit lelaki yang
pura-pura sakit hanya untuk bertemu dengannya.
Rambut
pirangnya sangat lurus mencapai pinggangnya dan sepertinya tidak
kusut. Aku tidak pernah memegangnya, jadi aku tidak tahu. Matanya pun
menakjubkan—mata yang berwarna merah muda itu bersinar, dan selalu
menarik perhatian orang-orang disekitarnya. Senyumannya pun tulus.
Senyumannya itu adalah senjatanya yang paling ampuh.
Tetapi
ada satu hambatan bagi mereka yang ingin mendekatinya.
“Oi,”
sebuah suara berat dan serak menggema di sebelahku, dari kasur yang
satu lagi. Aku menengok ke arahnya, dan mataku tertuju ke sepasang
mata hijau-biru yang juga menatap mataku. Tatapannya tajam—lebih
tajam dari tatapan kakakku. Menyeramkan.
“Jangan
menatapnya, tanah liat,” geramnya kepadaku. Jika aku seekor
anjing, telinga dan ekorku pasti sudah lemas karena ketakutan.
“M-Maaf—!”
ucapku dengan segera, dan memalingkan wajahku.
Beberapa
detik kemudian, aku melirik kembali ke orang itu. Untungnya, dia
sudah memalingkan pandangannya dariku. Orang ini sedang asik
bersantai di atas kasur dengan sebuah rokok di mulutnya. Ia menghisap
rokok itu seakan rokok itu sebuah permen. Asap rokok itu
melayang-layang di udara. Membuat polusi lebih parah saja, orang ini.
Orang
ini adalah hambatan yang tadi kubilang. Peter Auttenberg, namanya.
Kelas XII, jadi aku tidak berani melawan. Jika ia hanya kelas XI, aku
masih berani melawan. Pacar Ms. Flynn.
Ia
mempunyai rambut yang unik—rambutnya berdiri seperti habis di
setrum dan berwarna biru. Ia pernah berkata bahwa rambut birunya itu
asli dari lahir, dan adiknya juga mempunyai rambut dengan warna yang
sama. Matanya pun juga unik. Ia heterochromia—mempunyai dua
warna mata. Mata kirinya berwarna biru, sama dengan warna rambutnya;
sedangkan mata kanannya berwarna hijau. Sangat unik, aku jadi iri.
Peter
adalah berandalan nomor satu di sekolah ini dan di kota ini, kota
Arlergie. Ia sering bolos sekolah, suka sekali merokok, pergi ke klub
malam, bahkan bergaul dengan tidak benar. Tetapi tidak sampai
menggunakan obat-obat terlarang. Yang kutahu, ia tidak se-brengsek
itu—demi pacarnya.
Ms.
Flynn datang dengan sebaskom air dan kapas dan plester di tangannya.
Ia menaruh baskom air itu di meja di sebelah kasur yang kutempati dan
menaruh plesternya di sebelahku.
Ia
menengok ke arah Peter sebentar, dan menghela nafas. “Peter, sudah
berapa kali kubilang kau tidak boleh merokok? Itu tidak baik bagi
kesehatanmu!” ocehnya, tetapi Peter hanya menjawabnya dengan sebuah
“hnng” dan memalingkan pandangannya, tidak terlihat peduli.
Peter
memang kelihatannya tidak peduli dengan Ms. Flynn, tetapi sebenarnya
ia sangat peduli. Dan ya, memang disini diperbolehkan menjalin
hubungan dengan seorang guru, dengan alasan, “cinta itu tidak
mempunyai batas.”
Ms.
Flynn pun menyerah. “Baiklah,” ucap Ms. Flynn kepada dirinya
sendiri, kemudian membasahi kapas itu dan menempelkannya di dahiku.
Dingin rasanya. Dingin itu merambat dari dahi ke seluruh tubuhku,
membuat seluruh tubuhku seketika dingin. Aku mengambil selimut dan
segera menutup tubuhku dengannya. Ms. Flynn menatapku dengan aneh.
“Mr.
Clayton, kau kedinginan?” tanyanya, dan aku hanya mengangguk.
Setelah
membersihkan luka dan membersihkan darah yang sudah kering, sang guru
menempelkan plester di dahiku. “Yap, sudah selesai!” Ujarnya
dengan senyuman lebar, menandakan ia bangga dengan hasil kerjanya.
Aku
membalas senyumannya yang manis itu dengan senyumanku yang biasa
kugunakan untuk menggombal perempuan. “Terima kasih, Ms. Flynn,”
ucapku. Dan sepertinya aku merasakan aura pembunuh datang dari si
rambut biru. Aku harus cepat-cepat pergi dari sini.
Aku
pun turun dari tempat tidur dan membungkuk kepada Ms. Flynn—sekalian
kepada Peter sekaligus meminta maaf—dan segera berlari kembali ke
kelas X-B. Saat perjalanan kesana, aku sudah tidak melihat tetesan
darahku lagi di lantai. Mungkin si tukang pel sudah membersihkannya.
Baguslah kalau begitu, aku tidak repot-repot membersihkannya.
Beberapa
menit kemudian, aku sampai di kelas. Aku tidak mendengar bel apapun
sebelumnya, jadi mungkin masih pelajaran Sejarah. Dan benar apa
tebakanku.
Pada
saat aku masuk, Hibari masih ada disana. Ia pun menyuruhku untuk
duduk dan diam, catat semua apa yang ada di papan tulis. Dan jika ada
yang ketinggalan, pinjam catatan milik teman. Aku menatap temanku
yang duduk di sebelahku. Oh. Derek, si jenius kelas X-B.
Untung saja dia pintar—selalu ranking satu.
“Ey,
Derek,” panggilku.
Rambut
hitamnya yang lumayan panjang sedikit berkibar saat ia menoleh
kearahku. Ia menatapku dari kacamatanya, “nanti pinjam catatanku,”
ujarnya datar dan menatapku dengan datar juga, “iya, aku tahu.
Sudah biasa, lagi pula.” Hahahaha.
*
* *
Detik
demi detik terlewat dan menit lewat menit terlewat. Sudah dua puluh
menit sejak aku kembali dari UKS, dan seharusnya bel berbunyi
sekarang. Aku sudah bosan mendengarkan penjelasan kakakku yang
panjang lebar tentang sejarah luar negeri yang tidak penting.
Kenapa
kita harus tahu sejarah luar negeri? Kenapa kita harus tahu sejarah
negara kita sendiri? Yang penting 'kan, kita tahu sejarah kita,
bukan? Sejarah kita adalah sejarah yang paling penting. Jika kita
tidak ada sejarah—tidak ada masa lalu, kita tidak bisa melihat ke
masa depan. Masa depan juga penting. Tetapi menurutku, masa lalu itu
lebih penting daripada masa depan. Karena, masa depan bisa berganti.
Kau bisa mengganti masa depan—tetapi kau tidak bisa mengganti masa
lalu. Masa lalu juga bisa mengubah kita dengan cara membuat kita
mengingat sesuatu yang ada di masa lalu. Contohnya, jika saat ini kau
sedang melakukan sesuatu yang pernah kau lakukan, tetapi kau lupa
caranya, masa lalu bisa membantumu. Coba ingat, dengan menggambarkan
sesuatu di pikiran. Itu akan membantumu—aku biasanya seperti itu.
Ah,
aku baru saja memikirkan sesuatu yang dalam. Jarang sekali.
Aku
mengentuk-ngentuk mejaku beberapa kali karena bosan, membuat suara
berisik yang mengganggu orang-orang di sekitarku. Aku tahu, karena
beberapa orang sesekali melihat ke arahku, dan menatapku tajam.
Tetapi aku tidak merasa bersalah sama sekali—malah, aku merasa
puas. Aku puas hanya dengan mengganggu orang lain demi kesenanganku
sendiri. Tapi tentu saja, aku tidak pernah mengganggu orang lain
secara keterlaluan. Aku tidak pernah menindas orang. Malah
kebalikannya. Apa aku bukan orang yang kelihatannya sering ditindas?
Aku sering ditindas. Tetapi tidak sampai melukaiku, tentu
saja. Maka dari itu aku tidak masalah dan membiarkan mereka.
“Arthur,”
suara kakakku menggema di telingaku. Aku menoleh ke arah Hibari yang
sedang mengajar sambil memasang ekspresi polos. “Ya?”
Hibari
menghela nafas terlebih dahulu sebelum berkata, “beris—“ namun
kata-katanya telah dipotong oleh suara nyaring dari surga. Suara bel
tanda pelajaran berakhir.
Semua
murid menghela nafas mereka, dan aku tahu mereka berusaha untuk tidak
berteriak karena pelajaran pertama telah selesai. Aku pun begitu,
menghela nafas pula, lalu tersenyum lebar. Satu pelajaran lagi sampai
istirahat pertama.
Hibari
mendeham keras, menarik perhatian semua murid, dan juga membuat
sekelas diam. “Baiklah, pelajaran akan dilanjutkan hari Kamis,”
ujarnya sembari membereskan buku-bukunya. Setelah itu, ia melambaikan
tangannya dan pergi keluar kelas. Um, apa hanya aku saja atau tadi
sebelum ia keluar kelas, kakak menatapku? Aku menggelengkan kepalaku.
“Mungkin hanya imajinasiku.”
Setelah
ia meninggalkan kelas, aku memasukkan buku Sejarahku ke tasku, lalu
menoleh ke arah Derek, yang kulihat sedang mencari sebuah buku dari
tasnya. “Hey,” panggilku. Ia menoleh.
“Ya?”
Ia berhenti melakukan aktivitasnya dan mengangkat kedua alis matanya,
“ada apa, Clayton?”
“Habis
ini pelajaran apa?” tanyaku. Aku memang tidak hafal jadwal
pelajaran—dan tidak akan pernah hafal.
“Latin,”
jawabnya.
Mataku
melebar sebentar, kemudian sadar akan tatapan aneh yang diberikan
Derek kepadaku, aku langsung menggelengkan kepalaku. “Oke deh,
thanks!” Dan ia hanya menjawab dengan sebuah anggukan
kepala.
Kembali
menatap mejaku, mataku kembali melebar. Latin? Batinku. Latin—
oh, tidak. Aku memijat-mijat kepalaku walaupun kepalaku tidak
sakit atau apapun—hanya untuk menenangkan diriku sendiri. Latin—si
guru killer akan datang. Si guru killer...
Pintu
kelas terbuka, dan seketika sekelas terdiam. Sembari mengeluarkan
buku Latin dari tasku, aku menatap pintu kelas. Disana, terlihat
seseorang dengan kemeja abu-abu dan rambut biru muda. Seperti milik
Peter, tetapi warnanya lebih muda. Dia memakai kacamata, dan
tatapannya terlihat serius—salah satu ciri-ciri guru killer.
Di tangan kirinya, ia memegang setumpuk buku Latin; dan di tangan
kanannya, ia memegang sebuah tongkat besi tipis. Tongkat itu
digunakan sebagai ancaman untuk murid-murid yang tidak
mendengarkannya saat ia menjelaskan, untuk murid-murid yang tidur
saat pelajaran, untuk murid-murid yang tidak mencatat penjelasannya,
untuk murid-murid yang tidak mengerjakan tugas, dan lain-lain. Itulah
mengapa guru ini, Lloyd Collins, menjadi guru yang paling killer
di Asrama Aventurn, juga wakil kepala sekolah.
Dan
yang paling sering terkena hukumannya adalah, tentu saja, the one
and only Peter Auttenberg. Siapa lagi? Ia 'kan yang paling nakal
di asrama ini.
Mr.
Collins berjalan dengan cepat ke meja guru, dan segera duduk di kursi
guru. “Selamat pagi,” ucapnya datar dalam Bahasa Inggris biasa.
Tumben, biasanya ia menyapa kelas dengan bahasa Latin. Mungkin dia
salah minum obat?
“Mr.
Collins! Kau salah minum obat, ya? Kok pakai Bahasa Inggris?”
teriakku dari belakang. Semua orang menatapku seperti aku orang gila
atau aku telah menumbuhkan kepala kedua, atau aku mempunyai
permohonan untuk mati. Hah! Tidak seperti kebanyakan orang—kecuali
Peter—aku tidak takut sama sekali dengan Mr. Collins. Aku hanya
takut dengan kakakku sendiri, karena. Ya, karena, karena.
Aku
bisa merasakan aura gelap Mr. Collins bahkan dari sini. Auranya
menyeramkan, memang, Tapi, untuk apa takut? Bukan berarti dia akan
membunuhmu, iya 'kan? Tersenyum polos, aku melambaikan tanganku
kepadanya. “Ada apa, Mr. Collins? Sick? Yah, kalau begitu,
jangan masuk saja! Itu lebih baik, baik akan kesehatanmu!” Dan baik
akan kami para murid juga.
Aku
melihat Mr. Collins menghela nafas. “Arthur,” panggilnya.
Tangannya menandakan ia ingin aku kesana. “Kemari kau,” ujarnya.
Tatapannya sedingin es, membuat bulu kudukku merinding. Tetapi aku
tetap mendatanginya.
Aku
berjalan ke arah Mr. Collins dan tersenyum sepolos mungkin—memasang
tampang orang tidak berdosa. “Ada apa, Sir Collins?”
Dan,
BUK!! Kepalaku dipukul oleh Mr. Collins. DENGAN TONGKAT
BESINYA.
Aku
meraung kesakitan sembari memegang dan mengusap-usap kepalaku yang
tadi dipukul oleh Mr. Collins. “Sialan—!!” bisikku. Aku
mengusap kepalaku berkali-keli sambil meraung-raung kesakitan untuk
beberapa menit selanjutnya, lalu menghadap ke arah Mr. Collins.
Dengan muka yang memelas. Palsu, tentunya. “Ma-maa—“
PLAK!!
Yang ada ia memukulku lagi. Aku bisa merasakan benjolan di kepalaku
akibat pukulan Mr. Collins. Sial. Aku meraung kesakitan lagi. Yang
lain hanya tertawa melihat kesengsaraanku ini. Well,
mungkin memang sedari awal ini kesalahanku karena telah meledek Mr.
Collins. Aku kena batunya, eh.
“Arthur,”
panggilnya. Aku segera menoleh ke arahnya dan memandang matanya.
Masih menyeramkan—matanya biru, tetapi seperti merah di kepalaku.
Aneh. Mungkin aku pusing karena dipukul oleh Mr. Collins. Padahal
tadi aku baru ke UKS.
“Ya?”
sahutku.
Mr.
Collins menunjuk ke arah kanannya dengan tongkat besinya. Aku
mengikuti arah yang di tunjuk oleh Mr. Collins, dan mataku berhenti
di ujung tembok. Ujung
tembok.
Oh.
Aku
menoleh ke arah Mr. Collins lagi, berharap ia bercanda. Tetapi setahu
Mr. Collins, ia tidak pernah bercanda, kecuali kalau ia bilang
begitu—hah. Saat mataku bertemu dengan matanya, aku segera
mengalihkan pandanganku lagi dan berjalan ke ujung tembok dengan agak
cepat. Keringat dingin mengalir dari pelipisku. Mataku melebar.
Senyuman
liciknya memang mengerikan.